BRGM UNDANG PAKAR UNRI BAHAS STRATEGI PERCEPATAN REHABILITASI MANGROVE DI KUALA SELAT, INDRAGIRI HILIR
Sebagaimana telah banyak diberitakan, di Kuala Selat, sebuah desa pesisir yang berada di Kecamatan Kateman, Indragiri Hilir telah mengalami bencana banjir laut pasang setelah tanggul tanah yang menjadi pemisah antara laut dan daratan jebol pada awal bulan Desember 2021 lalu. Hal tersebut mengakibatkan lahan kebun kelapa masyarakat seluas kurang lebih 2000 ha terdampak sehingga tanaman kelapa yang ada mengalami kematian dan masyarakat kehilangan sumber penghidupan utama mereka.
Melanjutkan peninjauan ke lapangan yang telah dilaksanakan tanggal 12-14 Agustus 2024 lalu, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) telah menaja sebuah FGD yang bertajuk “Percepatan Rehabilitasi Mangrove (PRM) dalam rangka Tindak Lanjut Penanganan Kuala Selat.” FGD ini berlangsung pada tanggal 20 Agustus 2021 di Hotel Prime Park, Pekanbaru.
FGD yang dimaksud selain mengundang unsur-unsur kedinasan terkait lingkungan Pemerintah Daerah Indragihir Hilir dan Balai Besar Wilayah Sungai PUPR Sumatera, juga mengundang delapan pakar dari tiga universitas, yaitu UGM, UNDIP, dan UNRI. Dalam hal ini UNRI diwakili oleh dosen dan peneliti dari PUI Gambut dan Kebencanaan LPPM, yaitu Sigit Sutikno (hidrologi), Ahmad Muhammad (ekologi), Muhammad Fauzi (perikanan), dan Nurul Qomar (kehutanan).
Dalam paparannya Sigit Sutikno menekankan pentingnya untuk segera melengkapi data-data dasar terkait karakteristik hidrodinamika laut setempat dan lokasi yang terdampak bencana. Hasil analisis data-data ini sangat diperlukan sebagai landasan perencanaan rekayasa untuk penanggulangan perluasan dampak pada lokasi yang dimaksud dan lingkungan sekitarnya. Tindakan rehabilitasi mangrove semata kemungkinan tidak akan berhasil apabila tidak didahului atau disertai rekayasa pengelolaan hidrologi dan sedimentasi yang tepat. Dalam hal ini, tegas Sigit, keberadaan struktur yang dapat membantu memperlemah ombak dan mempercepat sedimentasi sangat diperlukan.
Ahmad Muhammad mengulas tentang perlunya memastikan apakah di lokasi yang terdampak sedang berlangsung penurunan elevasi lahan sebagai akibat erosi atau kenaikan elevasi lahan akibat sedimentasi. Ia mengkhawatirkan, elevasi lahan cenderung menurun. Menurutnya, cukup mengherankan bahwa 32 bulan pasca dimulainya bencana belum banyak anakan mangrove yang muncul, padahal di bagian depan masih tersisa sabuk mangrove dan karakteristik lahan sudah berubah, kembali menjadi marin karena mengalami salinasi. Hal ini mengindikasikan, perlunya intervensi melalui penanaman, meskipun kemungkinan dalam kondisi saat ini belum dapat dilakukan secara merata ke seluruh permukaan bidang yang terdampak penggenangan air laut.
Muhammad Fauzi mengemukakan hilangnya kebun kelapa sebagai sumber penghidupan utama masyarakat perlu segera dicarikan substitusinya. Dalam hal ini lingkungan yang sudah berubah menjadi marin akibat salinasi kemungkinan justru sesuai untuk kehidupan beragam biota akuatik bernilai ekonomi. Ia memberikan contoh, sistem tambak mini yang diisi ikan nila salin, berpotensi menjadi “jembatan ekonomi” dalam proses revitalisasi perekonomian masyarakat.
Nurul Qomar menyoroti perlunya insentif bagi masyarakat yang berpartisipasi secara aktif dalam proses rehabilitasi mangrove. Insentif ini dapat berupa bantuan upah penanaman dan pemeliharaan maupun perolehan hasil dari ekosistem mangrove yang terehabilitasi. Dalam hal ini, kemungkinan perlu diterapkan skema atau model perhutanan sosial yang tepat, agar di satu sisi masyarakat benar-benar dapat menikmati hasil rehabilitasi mangrove dan di lain sisi keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ini dapat dipertahankan.